Komisi Yudisial (KY) telah mengumumkan 161 calon hakim agung yang lolos seleksi administrasi. Di antara mereka, terdapat Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, yang masuk dalam daftar 69 calon untuk kamar pidana. Hal ini memicu kontroversi dan pertanyaan mengenai integritasnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti lolosnya Ghufron. ICW mengingatkan bahwa Ghufron pernah menerima sanksi etik karena intervensi dalam mutasi pegawai Kementerian Pertanian. Ini menimbulkan kekhawatiran terhadap integritasnya sebagai calon hakim agung.
Kekhawatiran ICW terhadap Seleksi Hakim Agung
Wana Alamsyah dari ICW menyatakan bahwa seleksi hakim agung seharusnya menjadi momentum untuk membersihkan Mahkamah Agung (MA) dari praktik-praktik mafia peradilan. Integritas calon hakim agung, menurutnya, harus dinilai secara menyeluruh, tidak hanya dari rekam jejak formal.
ICW mengingatkan adanya dua hakim agung yang sebelumnya terjerat kasus korupsi, yaitu Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati. Hal ini menunjukkan pentingnya memperketat seleksi untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Permasalahan Regulasi dan Sanksi Etik
Peraturan KY Nomor 1 Tahun 2025 mengatur persyaratan administrasi, namun Pasal 6 ayat 2 hanya menekankan pada sanksi disiplin, bukan sanksi etik. Ini memungkinkan calon dengan sanksi etik, seperti Ghufron, untuk lolos seleksi administrasi.
ICW mendesak KY untuk merevisi peraturan tersebut dengan memasukkan sanksi etik sebagai syarat administrasi. Hal ini penting untuk memastikan integritas calon hakim agung. MA sebagai lembaga tertinggi harus bebas dari konflik kepentingan.
Tanggapan Nurul Ghufron
Nurul Ghufron menyatakan dirinya merasa terpanggil untuk mengikuti seleksi calon hakim agung. Ia menganggap seleksi ini sebagai kesempatan untuk menemukan hakim agung terbaik bagi Indonesia.
Ghufron menghimbau agar proses seleksi dapat menghasilkan hakim agung yang terbaik dan mampu memenuhi kebutuhan hukum Indonesia. Ia tidak memberikan tanggapan terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.
Analisis dan Rekomendasi
Lolosnya Ghufron merupakan pertanda kontraproduktif terhadap cita-cita penegakan hukum. Hakim agung tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga berperan dalam reformasi dan pembaharuan hukum.
Penyalahgunaan wewenang yang pernah dilakukan Ghufron seharusnya menjadi pertimbangan KY untuk tidak meloloskannya. Hakim agung membutuhkan integritas, keadilan, dan kejujuran yang tinggi.
ICW mengajukan beberapa rekomendasi: KY harus meninjau kembali kelayakan Ghufron, mempertimbangkan rekam jejak dan integritas calon lain secara teliti, dan merevisi Peraturan KY Nomor 1 Tahun 2025 untuk memasukkan pelanggaran etik sebagai syarat administrasi.
Terakhir, transparansi dalam proses seleksi hakim agung sangat penting. KY perlu menyediakan kanal informasi yang mudah diakses publik untuk meningkatkan partisipasi publik dalam mengawasi proses ini dan memastikan integritas calon hakim agung.