Penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan perintangan penyidikan telah menimbulkan kontroversi dan menarik perhatian luas, terutama dari kalangan jurnalis dan organisasi pers.
Kejagung menuduh Tian, bersama Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu proses hukum kasus korupsi komoditas timah di wilayah IUP PT Timah dan kasus impor gula dengan tersangka Tom Lembong. Tuduhan tersebut berpusat pada konten berita di JAK TV yang dinilai negatif dan bertujuan untuk menyudutkan Kejaksaan.
Isu ini memicu perdebatan mengenai batas antara kebebasan pers dan pertanggungjawaban hukum. Banyak pihak mempertanyakan apakah tindakan Tian benar-benar termasuk perintangan penyidikan atau hanya kritik jurnalistik yang keras.
Peran Dewan Pers dalam Sengketa Pers
Ikatan Wartawan Hukum Indonesia (Iwakum) menyatakan keprihatinannya atas penetapan tersangka Tian. Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil, menekankan pentingnya menyelesaikan sengketa pers melalui mekanisme Dewan Pers, seperti hak jawab, hak koreksi, atau mediasi etik, sebelum menempuh jalur hukum pidana.
Irfan Kamil menganggap bahwa langkah hukum pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir, bukan langkah pertama, dalam merespon pemberitaan yang dianggap merugikan. Proses hukum pidana, menurutnya, berpotensi menimbulkan efek chilling effect atau efek pembungkaman terhadap kebebasan pers.
Ia juga mengingatkan bahwa delik perintangan penyidikan memiliki batasan hukum yang jelas dan harus dipenuhi. Tindakan yang dituduhkan kepada Tian harus terbukti secara hukum sebagai upaya konkrit dan langsung untuk menghambat proses hukum, bukan sekadar opini atau kritik jurnalistik.
Analisis Kasus dan Implikasinya
Kasus Tian Bahtiar ini menyoroti kompleksitas hubungan antara kebebasan pers, tanggung jawab jurnalistik, dan penegakan hukum. Pertanyaan krusial yang muncul adalah bagaimana membedakan antara kritik jurnalistik yang keras namun masih berada dalam koridor hukum dengan upaya perintangan penyidikan yang bersifat kriminal.
Perlu kajian lebih mendalam tentang bagaimana menentukan batasan antara opini publik yang dibangun melalui pemberitaan dan tindakan yang secara nyata menghalangi proses hukum. Apakah kritik terhadap kinerja aparat penegak hukum, meskipun disampaikan secara tajam, secara otomatis dapat dikategorikan sebagai upaya perintangan penyidikan?
Kejelasan batasan ini sangat penting untuk melindungi kebebasan pers sekaligus mencegah penyalahgunaan hukum untuk membungkam suara kritis. Diperlukan panduan yang lebih spesifik dan komprehensif agar penegakan hukum tidak menghambat fungsi pers sebagai pilar demokrasi.
Pertimbangan Etik Jurnalistik
Di sisi lain, penting juga untuk menekankan pentingnya etika jurnalistik. Jurnalis harus memastikan akurasi informasi, keseimbangan pemberitaan, dan menghindari penyebaran informasi yang menyesatkan atau fitnah. Meskipun kebebasan pers dijamin, hal tersebut bukan berarti bebas dari tanggung jawab dan konsekuensi atas pemberitaan yang tidak bertanggung jawab.
Dewan Pers memiliki peran kunci dalam menjaga etika jurnalistik. Mekanisme yang disediakan Dewan Pers, seperti hak jawab dan hak koreksi, seharusnya dimaksimalkan untuk menyelesaikan sengketa pers sebelum beralih ke jalur hukum pidana. Hal ini sekaligus menunjukkan komitmen untuk menegakkan etika jurnalistik.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, baik jurnalis, institusi pers, maupun aparat penegak hukum, untuk lebih memahami batasan-batasan hukum dan etika dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Diperlukan dialog dan kerjasama yang lebih erat untuk memastikan kebebasan pers tetap terjaga tanpa mengabaikan hukum dan etika.